Subscribe:

Ads 468x60px

Pages

Dasar Pemikiran Bai'at


Pada hakekatnya dasar pemikiran baiat yang dimiliki sebagian jama'ah-jama'ah Islam pada prinsipnya sesuai dengan syari'at Islam, karena mereka mengatakan di dalamnya : "Hendaknya kita berjanji setia kepada Allah untuk menjadi tentara dalam berdakwah kepada Islam dan di
dalam baiat tersebut terdapat kehidupan negeri dan umat". Padahal ini adalah perjanjian yang diambil oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala atas semua kaum muslimin. Kemudian terjadilah sedikit "perkembangan" pemikiran dan organisasi pada orang-orang yang memberlakukan baiat terhadap diri-diri mereka, sehingga terjadilah kelompok/jamaah ikhwan membaiat pemimpin umum (al-mursid al-aam) sebagai orang yang dipercaya penuh dan didengar serta ditaati ketika suka atau terpaksa, sampai Allah memenangkan dakwahnya dan mengembalikan kemualiaan Islam.
Kalau demikian terjadi keterjungkilbalikan dan kesalahan. Sebagai buktinya diantara sistem kerja anggota baiat adalah taat baik di kala susah atau mudah, terpaksa atau suka kepada kepemimpinan yang muncul dari aturan-aturan yang dipegangi oleh jama'ah. Dua keterangan terakhir ini menjelaskan dengan gamblang bahwa baiat istitsnaiyyah yang tanpa dalil tersebut, tidak berbeda sedikitpun dengan baiat terhadap Amirul Mukminin. Tidak sebagaimana yang disangka oleh "sebagian orang" bahwa baiat tersebut hanya "sekedar janji" belaka !
Sebagai penambah keautentikan penjelasan tersebut ialah bahwa para pengikut Asy-Syaikh Hasan Al-Bana Rahimahullah menamainya dengan "Al-Imam". Padahal penamaan ini hanya bisa diperuntukkan bagi orang yang benar-benar imam. Karena diketahui bahwa al-ustadz Hasan Al-Banna tidak menyukai kepemimpinan dan mengetahui pula bahwa cinta kepada kepemimpinan dengan tujuan mencari kekuasaan mengakibatkan kejelekan bagi kaum muslimin pada sejarah mereka yang panjang, maka dia (Hasan Al-Banna -ed) menamai dirinya dengan mursyid dan tidak suka untuk menjadi pemimpin atau amir.  
Karena semua itulah sebagian penulis mengatakan : "Sesungguhnya baiat yang diberikan kepada suatu jama'ah, tidaklah sama dengan baiat yang diberikan kepada Amirul Mukminin ketika tegak khilafah atau penguasa muslim.” Karena dengan baiat tersebut perintah seorang penguasa menjadi wajib untuk ditaati, sampai pada masalah-masalah yang mudah jika terdapat kemaslahatan di dalamnya. Adapun baiat yang terdapat pada Ikhwan al-Muslimin (dan katakan seperti itu juga pada jama'ah-jama'ah Islam lainnya), maka tidak mempunyai sifat yang mewajibkan (untuk taat, -ed) dari sisi fikih".

Dampak Tidak Adanya Imam


Doktor Abdul Muta'al Muhammad Abdul Wahid mengatakan :
"Ketiadaannya imam adalah menjadi sebab munculnya kelompok-kelompok yang mengklaim bahwa dirinyalah yang berhak dibaiat dan menjadi imam. Kelompok-kelompok ini bisa diklasifikasikan menjadi tiga kelompok yang mendasar, yaitu :
1. Kelompok pertama
Mengatakan : "Sesungguhnya orang yang meninggalkan baiat adalah kafir". Lalu mereka menetapkan kepemimpinan bagi dirinya. Sedang orang yang tidak membaiatnya adalah kafir. Menurut pandangan mereka. Ucapan ini tidak benar, sebab Ali bin Abi Thalib -salah seorang yang diberi kabar akan masuk surga- beliau tiadak membaiat Abu Bakar selama kurang lebih
setengah tahun[1], dan tidak seorang sahabatpun yang mengatakan tentang kekafirannya selama beliau meninggalkan baiat.
2. Kelompok kedua
Mengatakan :"Sesunguhnya baiat adalah wajib, barangsiapa yang meniggalkannya berarti dosa". Dari sinilah mereka menetapkan seorang amir bagi diri-diri mereka, sehingga gugurlah dosa – dosa tadi dari mereka ketika membaiatnya. Padahal yang benar adalah bahwa dosa meninggalkan baiat tidak menjadi gugur dengan cara membaiat amir tersebut. Karena baiat yang wajib dan berdosa orang yang meninggalkannya ialah baiat terhadap imam (pemimpin) muslim yang menetap di bumi dan menegakkan khhilafah Islamiyyah dengan syarat-syarat yang benar.[2]
3. Kelompok ketiga
Adalah mereka (kaum muslimin) yang tidak membaiat seorangpun. Mereka mengatakan : "Sesungguhnya meninggalkan baiat adalah berdosa, tetapi baiat adalah hak seorang pemimpin muslim yang tinggal di bumi (walau) kenyataannya tidak ada di masa sekarang".
Menurut keyakinanku, “kelompok ketiga inilah yang berada di atas kebenaran".[3] Dan diantara hal yang menguatkan kebatilan baiat-baiat istitsnaiyyah (pengecualian) yang merupakan perkara baru tentang baiat kepada Amirul Mukminin -walaupun di kala tidak ada Amirul Mukminin- terdapat dalam keterangan para ulama rahimahullah, yaitu disyariatkan dalam baiat berkumpulnya Ahlul Halli wal Aqdi, lalu mereka membentuk keimanan bagi seorang yang memenuhi syarat-syaratnya.[4]

Kesimpulan Dan Tarjih
Jadi yang dimaksud dengan baiat ialah, pemberian janji dari pihak pembaiat untuk mendengar dan taat kepada amir, baik di kala senang atau terpaksa di masa mudah atau sulit, tidak menentang perintahnya dan menyerahkan segala urusan kepadanya.[5]

PERINGATAN
Dari keterangan yang telah lewat, kita mendapatkan dua perkara yang penting, yaitu :
1.  Baiat tidak ada kecuali kepada Amirul Mukminin saja.
2. Ketaatan (kepada Amirul Mukminin) muncul dari baiat yang hanya diberikan kepadanya saja.
Oleh karena itu batallah.[6] Semua baiat yang diberikan kepada seseorang (bukan Amirul Mukminin) bagaimanapun bentuknya, baik ketika ada imam atau tidak ada, ada seorang atau lebih.





[1]  Dan ini tidak benar secara mutlak, lihat perinciannya dalam kitab Tahdzir Al -Abqari min Muhadharat al -
Khudhari (I/198) karya Al -Syaikh Muhammad al -Arabi al-Tibyani.
[2]  Walaupun dia (khilafah) berlaku zhalim. Dan ini adalah madzhab Ahlus Sunnah wal Jama'ah. Sebagaimana
dalam kitab Syarh 'Aqidah al -Thahawiyyah, hal.379.
[3]  Maatsirul Anafa h fi Ma'alim al -Khilafah (I/39) al –Qalqasynadi.
[4]  Al-Furqan Baina al -Kufri wa al -Iman, hal.64, Abdul Muta'al Muhammad Abdul Wahid.
[5]  An-Nizham as-Siyasi fi al-Islam, hal.299-300, Abdul Qadir Ani Haris.
[6]  Maka wajib bagi orang yang terkungkung dengan baiat -baiat bid'ah seperti ini untuk meninggalkan dan
mebatalkannya. Karena baiat tersebut batil. Selain demi menjaga agama dan untuk mengikutinya.

Pemerintah Indonesia, Masihkah Layak Ditaati ?

Para ulama kaum muslimin seluruhnya sepakat akan kewajiban taat kepada pemerintah muslim dalam perkara yang bukan maksiat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Karena Allah Tabaraka wa Ta’ala telah memerintahkan hal tersebut sebagaimana dalam firman-Nya:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ

“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu.” (An-Nisa’: 59)

Demikian pula, Nabi shallallahu’alaihi wa sallam telah berwasiat:

أُوصِيكُمْ بِتَقْوَى اللَّهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ عَبْدًا حَبَشِيًّا

“Aku wasiatkan kalian agar senantiasa taqwa kepada Allah serta mendengar dan taat kepada pemimpin (negara) meskipun pemimpin tersebut seorang budak dari Habasyah.” (HR. Abu Dawud, no. 4609 dan At-Tirmidzi, no. 2677)

Al-Imam Abu Ja’far Ath-Thahawi rahimahullah menjelaskan diantara prinsip aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah:

ولا نرى الخروج على أئمتنا وولاة أُمورنا ، وإن جاروا ، ولا ندعوا عليهم ، ولا ننزع يداً من طاعتهم ونرى طاعتهم من طاعة الله عز وجل فريضةً ، ما لم يأمروا بمعصيةٍ ، وندعوا لهم بالصلاح والمعافاة

“Dan kami tidak memandang bolehnya memberontak kepada para pemimpin dan pemerintah kami, meskipun mereka berbuat zhalim. Kami tidak mendoakan kejelekan kepada mereka. Kami tidak melepaskan diri dari ketaatan kepada mereka dan kami memandang ketaatan kepada mereka adalah ketaatan kepada Allah sebagai suatu kewajiban, selama yang mereka perintahkan itu bukan kemaksiatan (kepada Allah). Dan kami doakan mereka dengan kebaikan dan keselamatan.” (Al-Aqidah Ath-Thahawiyah, Al-Imam Abu Ja’far Ath-Thahawi Al-Hanafi rahimahullah)

AI-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah juga menukil ijma’. Dari Ibnu Batthal rahimahullah, ia berkata: “Para fuqaha telah sepakat wajibnya taat kepada pemerintah (muslim) yang berkuasa, berjihad bersamanya, dan bahwa ketaatan kepadanya lebih baik daripada nnemberontak.” (Fathul Bari, 13/7)

Bolehkah Membangkang Kepada Pemerintah Indonesia karena Tidak Berhukum dengan Syari’at Islam?

Telah dimaklumi bersama bahwa pemerintah Negara Kesatuan Republik Indonesia saat ini adalah pemerintah muslim. Sebagaimana juga dimaklumi bahwa hukum Islam belum diterapkan secara menyeluruh di negeri tercinta ini. Apakah dengan sebab tersebut pemerintah (dan rakyatnya) telah  menjadi murtad? Kemudian boleh bagi kaum muslimin memberontak atau membangkang kepada pemerintah Indonesia?
Syubhat ini dijawab oleh Faqihul ‘Ashr Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah dalam fatwa berikut ini:
Pertanyaan: Fadhilatusy Syaikh Al-‘Utsaimin rahimahullah ditanya tentang hukum menaati pemerintah yang tidak berhukum dengan Kitabullah dan Sunnah Rasulillah shallallaahu ‘alaihi wa sallam?
Jawab: “Pemerintah yang tidak berhukum dengan Kitabullah dan Sunnah Rasulullah tetap wajib ditaati dalam perkara yang bukan maksiat kepada Allah dan Rasul-Nya, serta tidak wajib memerangi mereka dikarenakan hal itu, bahkan tidak boleh diperangi kecuali kalau ia telah menjadi kafir, maka ketika itu wajib untuk menjatuhkannya dan tidak ada ketaatan baginya.
Berhukum dengan selain Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya sampai kepada derajat kekufuran dengan dua syarat:
1)      Dia mengetahui hukum Allah dan Rasul-Nya. Kalau dia tidak tahu, maka dia tidak menjadi kafir karena penyelisihannya terhadap hukum Allah dan Rasul-Nya.
2)      Motivasi dia berhukum dengan selain hukum Allah adalah keyakinan bahwa hukum Allah sudah tidak cocok lagi dengan zaman ini dan hukum lainnya lebih cocok dan lebih bermanfaat bagi para hamba.
Dengan adanya kedua syarat inilah perbuatan berhukum dengan selain hukum Allah menjadi kekufuran yang mengeluarkan dari Islam, berdasarkan firman Allah:

وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَآ أَنْزَلَ اللهُ فَأُوْلَئِكَ هُمُ الْكَافِرُوْنَ

“Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.” (Al-Maidah: 44)

Pemerintah yang demikian telah batal kekuasaannya, tidak ada haknya untuk ditaati rakyat, serta wajib diperangi dan dilengserkan dari kekuasaan.
Adapun jika dia berhukum dengan selain hukum Allah, namun dia tetap yakin bahwa berhukum dengan apa yang diturunkan Allah itu adalah wajib dan lebih baik untuk para hamba, tetapi dia menyelisihinya karena hawa nafsu atau hendak menzalimi rakyatnya, maka dia tidaklah kafir, melainkan fasik atau zhalim, dan kekuasaannya tetap sah.
Mentaatinya dalam perkara yang bukan kemaksiatan kepada Allah dan Rasul-Nya adalah wajib. Tidak boleh diperangi, atau dilengserkan dengan kekuatan (senjata) dan tidak boleh memberontak kepadanya. Sebab Nabi shallallahu’alaihi wa sallam melarang pemberontakan terhadap pemerintah (muslim) kecuali jika kita melihat kekafiran nyata dimana kita mempunyai alasan (dalil) yang jelas dari Allah Subhanahu wa Ta’ala.” (Majmu’ Fatawa wa Rosail Ibni ‘Utsaimin, 2/147-148, no. 229)
Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi rahimahullah juga menjelaskan, “Apabila seorang pemimpin muslim berhukum dengan selain hukum Allah, maka tidak boleh dihukumi kafir kecuali dengan syarat-syarat: Pertama: Dia tidak dipaksa melakukannya. Kedua: Dia tahu bahwa hukum tersebut bukan hukum Allah. Ketiga: Dia memandang hukum tersebut sama baiknya atau bahkan lebih baik dari hukum Allah.” (Lihat Al-Makhraj minal Fitnah, hal. 82)

Kesimpulan

Wajib taat kepada pemerintah Indonesia dalam perkara yang bukan maksiat kepada Allah Ta’ala. Tidak boleh memberontak atau membangkang meskipun mereka tidak berhukum dengan hukum Allah, sebab kafirnya seseorang karena tidak berhukum dengan hukum Allah perlu adanya syarat-syarat yang terpenuhi (syuruth at-takfir) dan terangkatnya penghalang (intifaul mawani’). Selama syarat-syarat itu belum terpenuhi dan penghalang-penghalangnya belum terangkat maka hukum asalnya ia adalah muslim. Jika ia seorang penguasa, berlaku baginya hak-hak seorang penguasa muslim.
Dan perlu juga dicatat, bahwa para ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah tidak ada satupun yang mempersoalkan dasar negara pemimpin tersebut, apakah dasarnya Islam atau sekuler. Tetapi yang menjadi ukuran apakah pemimpinnya muslim atau kafir, baik muslim yang adil dan bertakwa atau yang zalim dan fasik, tetap wajib menaatinya dalam perkara yang bukan maksiat kepada Allah.
Mereka yang mempersoalkan dasar negara dalam hal ketaatan kepada pemimpin muslim dan haramnya pemberontakan –baik dengan senjata maupun dengan kata-kata- terhadap pemerintah muslim, hanyalah orang-orang jahil dari kalangan NII dan jenis Khawarij Takfiri lainnya yang tidak mengerti ushul dan qawa’id dalam aqidah dan manhaj Ahlus Sunnah wal Jama’ah.

Wallahul Musta’an.

Penulis: Al Ustadz Sofyan Chalid bin Idham Ruray

Bai’at Bid’ah di Kalangan Hizbiyyah

Di antara manhaj bid’ah di dalam Islam adalah apa yang dilakukan sebagian kelompok yang mengatasnamakan Islam, yang terjerumus ke dalam fitnah hizbiyyah. Mereka menerapkan hadits-hadits tentang bai’at, yang seharusnya dipahami sebagai kewajiban taat seorang muslim kepada pemerintahnya, namun diarahkan kepada kelompok mereka masing-masing, yang mewajibkan para pengikutnya untuk berbai’at kepada pemimpin kelompoknya.
Barangsiapa yang tidak berbai’at kepadanya (pemimpin kelompok) maka dia mati jahiliah. Lalu dibangun di atas pemahaman ini bahwa yang dimaksud mati jahiliah adalah kafir dan keluar dari Islam. Sehingga yang tidak berbai’at kepada pimpinan jamaahnya dianggap kafir dan halal darahnya.
Kemudian, berdasarkan pemikiran ini, di antara mereka ada yang sampai kepada tingkat pemahaman menganggap halalnya mencuri atau merampas harta kaum muslimin dengan keyakinan bahwa harta mereka adalah ghanimah (harta rampasan perang milik orang kafir). Atau enggan shalat di belakangnya di masjid-masjid kaum muslimin karena menganggap bermakmum di belakang orang kafir hukumnya tidak sah. Bahkan sampai pada tingkatan upaya melakukan gerakan bawah tanah yang bertujuan untuk menggulingkan pemerintahan yang sah dengan alasan bahwa pemerintahan mereka telah kafir dan tidak berhukum dengan hukum Allah Subhanahu wa Ta’ala, sehingga telah gugur kewajiban taat dan kewajiban berbai’at kepadanya. Sedangkan bai’at hanyalah diserahkan kepada pemimpin kelompoknya saja. Dari sinilah cikal-bakal munculnya kaum teroris Khawarij yang memorakporandakan keamanan negeri-negeri muslimin.
Di sisi lain, sebagian bai’at diterapkan oleh kelompok-kelompok bid’ah hizbiyyah berorientasi bukan pada pemberontakan terhadap penguasa yang sah dan melakukan tindak kekerasan. Namun lebih fokus kepada sikap kultus individu kepada pemimpin kelompok dan menaati seluruh ucapannya, serta menganggap bahwa seluruh ucapannya adalah benar dan tidak pernah salah. Ini seperti keyakinan kelompok-kelompok Shufiyah (Sufi) terhadap pemimpin dan orang yang dianggapnya sebagai wali Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Namun secara umum, bai’at-bai’at bid’ah hizbiyyah tersebut telah menanamkan pemahaman akan wajibnya taat kepada pemimpin yang dibai’at dan diharamkan menyelisihi perintah serta aturannya, karena hal itu akan menyebabkan mereka mati dengan cara mati jahiliah. Demikian menurut sangkaan mereka. Abu Qilabah rahimahullahu berkata:
مَا ابْتَدَعَ قَوْمٌ بِدْعَةً إِلَّا اسْتَحَلُّوا السَّيْفَ
“Tidaklah satu kaum melakukan satu bid’ah melainkan mereka akan menghalalkan pedang (yakni menghalalkan darah kaum muslimin, pen.).” (Syarah Ushul I’tiqad Ahlus Sunnah, Al-Lalaka’i, no. 247)
Berikut ini, kami sebutkan beberapa kelompok sempalan yang menerapkan metode bai’at kepada para pengikutnya untuk taat kepada pemimpinnya.

Bai’at jamaah Al-Ikhwanul Muslimun (IM)
Di dalam jamaah Al-Ikhwanul Muslimun, bai’at sudah ditetapkan oleh pemimpinnya semenjak berdirinya, yakni Hasan Al-Banna. Dalam salah satu tulisannya, Hasan Al-Banna menjelaskan tentang bai’at dalam jamaahnya, “Wahai saudara-saudara yang jujur, rukun bai’at kami ada sepuluh maka hafalkanlah: Pemahaman, ikhlas, beramal, berjihad, berkorban, ketaatan, teguh, jernihkan pemikiran, persaudaraan, dan kepercayaan.” (Rasa’il Hasan Al-Banna, jilid 1/1-2)
Tatkala menjelaskan masalah ketaatan, dia berkata: “Yang saya maksudkan dengan ‘ketaatan’ adalah melaksanakan perintah dan menjalankannya sendirian, baik di saat sulit atau mudah, di saat semangat ataupun terpaksa.” (Rasa’il Hasan Al-Banna, jilid 1/7)
Dia menyebutkan tiga tahapan: ta’rif, takwin, dan tanfidz. Lalu dia menjelaskan tahapan kedua takwin dengan mengatakan, “Aturan dakwah pada tahapan ini adalah Sufi yang murni dalam hal rohaninya dan ketentaraan murni dari sisi amalannya. Dan syiar kedua perkara ini adalah ‘perintah dan taat’ tanpa disertai keraguan, waswas, dan rasa berat.” (Rasa’il Hasan Al-Banna, 1/7)
Asy-Syaikh Ahmad An-Najmi rahimahullahu mengomentari bai’at Al-Ikhwanul Muslimun ini: “Kritikan saya terhadap bai’at ini dari beberapa sisi:
Pertama: Bai’at merupakan hak penguasa tertinggi. Barangsiapa yang mengambil bai’at bukan pada penguasa tertinggi, sungguh dia telah berbuat bid’ah yang tercela di dalam agama.
Kedua: Tidak diketahui bahwa para pengemban dakwah mengambil bai’at atas dakwah mereka. Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullahu telah menegakkan dakwah di abad ke-12 hijriah di Najd, namun beliau tidak pernah mengambil bai’at dari siapapun untuk taat kepadanya. Hanya saja Allah Subhanahu wa Ta’ala memberi berkah dalam dakwahnya.
Demikian pula Asy-Syaikh Abdullah bin Muhammad Al-Qar’awi ketika menegakkan dakwah di jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala di Kerajaan Arab Saudi bagian selatan. Beliau tidak pernah mengatakan kepada seseorang bahwa dia ingin mengikatnya dengan bai’at dalam dakwahnya. Namun Allah Subhanahu wa Ta’ala tetap memberi berkah dalam dakwahnya. Sebelum mereka, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu, tidak pernah mengambil bai’at dari siapapun dan Allah Subhanahu wa Ta’ala senantiasa memberkahi dakwahnya.
Ketiga: Bai’at Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada para sahabatnya lebih sedikit dari apa yang disebutkan Al-Banna. Dalam hadits Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma disebutkan: “Kami membai’at Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk senantiasa mendengar dan taat, sebatas kemampuan kalian.” Ini bagian dari sepuluh rukun yang disebutkan. Manakah dalil atas rukun-rukun lainnya?
Keempat: Dia menjadikan bentuk ketaatan pada tahapan kedua dari tiga tahapan dakwah yang dia ada-adakan sebagai ketaatan militer yang harus dijalankan, baik perintah itu salah atau benar, batil atau haq. Padahal Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam membai’at para sahabatnya untuk mendengar dan taat dan berkata “Sesuai kemampuan kalian.” (Dinukil dengan ringkas dari kitab Al-Maurid Al-Adzb Az-Zulal, karya Asy-Syaikh Ahmad bin Yahya An-Najmi rahimahullahu, hal. 214-217)
Bai’at jamaah 354/ Islam Jamaah 
Dalam Islam Jamaah, yang bernaung dibawah Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII), perintah amir mendapat tempat istimewa dan sangat menentukan serta merupakan sumber hukum yang ketiga setelah Al-Qur’an dan hadits yang manqul. Hal itu tercermin dalam kehidupan sehari-hari para pengikutnya. Kepatuhan mereka kepada amir adalah sami’na wa atha’na mas tatha’na (kami mendengar dan taat semampu kami).
Untuk mempertebal keyakinan pengikutnya, mereka mengarahkan ayat dan hadits yang menjelaskan tentang kewajiban taat kepada ulil amri, kepada wajib taat kepada amir jamaahnya. Segala keputusan ada di tangan amir. Mulai dari boleh tidaknya seseorang berdakwah sampai kepada soal nikah. Amirlah yang menentukan apakah seseorang boleh atau tidak menikah dengan gadis atau pemuda pilihannya, ataupun bercerai dari istri atau suaminya. Demikian pula dalam soal harta. Amirlah yang menentukan apakah seseorang boleh menjual hartanya, misalnya sawah, rumah, kendaraan, dan lain sebagainya. (Bahaya Islam Jamaah, hal. 145)
Demikian pula dalam hal penafsiran, semua anggota Islam Jamaah dilarang menerima segala penafsiran yang tidak bersumber dari imam. Sebab penafsiran yang tidak berasal dari imam semuanya salah, sesat, berbahaya, dan tidak manqul. (Bahaya Islam Jamaah, hal. 22)

Jamaah Ansharut Tauhid
Jamaah yang dipimpin oleh Abu Bakr Abdush Shamad Ba’asyir yang merupakan salah satu tokoh Khawarij di negeri kita ini, juga menerapkan sistem bai’at as-sam’u wat tha’ah (mendengar dan taat) kepada para pengikutnya. Ba’asyir –yang sebelumnya juga pernah menjadi Amir MMI (Majelis Mujahidin Indonesia) sebelum terjadinya perpecahan di antara mereka– juga menerapkan pola yang sama ketika masih di MMI, yaitu bai’at untuk mendengar dan taat kepadanya. Ba’asyir memosisikan dirinya sebagai amir yang harus ditaati layaknya penguasa sebuah negeri. Nash-nash yang seharusnya diarahkan kepada penguasa muslim di sebuah negeri, dia terapkan kepada organisasi dan para pengikutnya.
Dalam makalah “Selayang pandang tentang I’lan Jamaah Ansharut Tauhid (JAT)” terbitan jamaah tersebut, pada hal. 7, dia menyebutkan sistem yang diterapkan dalam jamaah ini: “Sistem organisasi perjuangan adalah dalam bentuk jamaah dan imamah.” Juga disebutkan: “Amir wajib ditaati selama perintah dan kebijaksanaannya tidak maksiat berdasarkan dalil yang qath’i.”

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا أَطِيعُوا اللهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا

“Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan Hari Kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (An-Nisa: 59) [Selayang Pandang tentang I’lan Jamaah Ansharut Tauhid hal. 9]
Perhatikanlah, ayat yang semestinya diterapkan untuk penguasa negeri justru diarahkan kepada jamaah dan kelompoknya, bak mendirikan negara di dalam sebuah negara. Jamaah ini mengikat para pengikutnya dengan ikatan janji, yang disebut mu’ahadah, mu’aqadah, atau yang lebih masyhur dengan penyebutan bai’at. Dalam Selayang Pandang tentang I'lan Jamaah Ansharut Tauhid disebutkan: “Mu’ahadah artinya perjanjian atas ketaatan dalam hal yang ma’ruf. Berarti, pemberian janji (sumpah setia) dari seseorang kepada amir untuk sam’u dan tha’ah dalam hal selain maksiat. Baik dalam keadaan senang atau terpaksa, dalam kesempitan atau kelapangan, serta tidak mencabut bai’at dari ahlinya dan menyerahkan urusan kepadanya.” (Selayang Pandang tentang I’lan Jamaah Ansharut Tauhid, hal. 23)
Dengan doktrin sam’u (mendengar) dan tha’ah (taat) kepada para pengikutnya, mereka pun rela berjuang dengan harta dan jiwa mereka sekalipun, jika mendapat perintah dari amir jamaahnya, Abu Bakr Ba’asyir, meskipun bertentangan dengan pemerintah Indonesia. Sebab, yang wajib ditaati menurut mereka adalah amir jamaahnya, bukan amir Indonesia yang dianggap telah melakukan pelanggaran syariat.
Bahkan ketika masih menjabat sebagai amir MMI, dengan tegas mengeluarkan pernyataan sikap atas nama ahlul halli wal ‘aqdi Majelis Mujahidin, dengan judul Fatwa syar’i terhadap pemerintahan SBY-JK, yang mengharamkan tindakan pemerintah ketika menaikkan harga BBM. Pada bagian akhir menyebutkan keputusan yang berbunyi: “Apabila SBY-JK tidak mengembalikan amanah kepada rakyat secara konstitusional, maka rakyat tidak mempunyai kewajiban lagi untuk menaatinya.” (Risalah Mujahidin, edisi 5 Muharram 1428 H/Feb 2007, hal. 89)
Lebih tegas lagi menyatakan bahwa pemerintah sekarang ini telah murtad dan keluar dari Islam, dalam tulisan yang berjudul “SURAT ULAMA kepada Presiden Republik Indonesia”, di mana Abu Bakr Ba’asyir menjadi urutan pertama yang menandatangani isi surat tersebut. Disebutkan pada hal. 25-26: “Setiap muslim yang bertauhid akan sampai pada kesimpulan yang ditarik oleh para ulama yang tsiqah (terpercaya) baik salaf maupun kontemporer, yaitu jatuhnya vonis murtad bagi para penguasa negeri-negeri kaum muslimin hari ini. Para penguasa muslim yang menguasai negeri-negeri kaum muslimin hari ini telah melakukan banyak hal yang membatalkan keislaman mereka, sehingga kemurtadan mereka berasal dari banyak hal. Artinya, kemurtadan mereka adalah kemurtadan yang sangat parah sehingga hujjah tentang murtadnya mereka tidak terbantahkan lagi.”
Dari sini semakin nampak, bahwa bai’at JAT kepada pemimpinnya adalah bai’at pemberontakan dan khuruj (keluar) dari ketaatan kepada penguasa negeri, karena mereka telah dianggap kafir dan murtad.
Masih banyak lagi kelompok dan organisasi yang mengikat para pengikutnya dengan sistem jamaah dan imamah, yang semestinya diarahkan kepada penguasa negeri. Al-’Allamah Al-Albani rahimahullahu berkata:
أَمَّا مُبَايَعَةُ حِزْبٍ مِنَ الْأَحْزَابِ لِفَرْدٍ لِرَئِيسٍ لَهُ، أَوْ جَمَاعَةٍ مِنَ الْجَمَاعَاتِ لِرَئِيْسِهِمْ وَهَكَذَا، فَهَذَا فِي الْوَاقِعِ مِنَ الْبِدَعِ الْعَصْرِيِّةِ الَّتِي فَشَتْ فِي الزَّمَنِ الْحَاضِرِ، وَذَلِكَ بِلَا شَكٍّ مِمَّا يُثِيرُ فِتَنًا كَثِيرَةً جِدًّا بَيْنَ الْمُسْلِمِينَ
“Adapun bai’at yang dilakukan satu kelompok bagi seseorang terhadap pemimpinnya, atau satu jamaah kepada pemimpinnya, dan yang semisalnya, pada hakikatnya termasuk bid’ah yang baru muncul pada masa kini. Tidak diragukan lagi bahwa ini dapat menimbulkan berbagai fitnah yang sangat banyak di kalangan kaum muslimin.” (Silsilah Al-Huda wan Nur, kaset no. 288)
Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullahu berkata pula:
الْبَيْعَةُ الَّتِي تَكُونُ فِي بَعْضِ الْجَمَاعَاتِ بِيْعَةٌ شَاذَّةٌ مُنْكَرَةٌ، يَعْنِي أَنَّهَا تَتَضَمَّنُ أَنَّ الْإِنْسَانَ يَجْعَلُ لِنَفْسِهِ إِمَامَيْنِ وَسُلْطَانَيْنِ، الْإِمَامُ الْأَعْظَمِ الَّذِي هُوَ إِمَامٌ عَلَى جَمِيعِ الْبِلَادِ، وَالْإِمَامُ الَّذِي يُبَايِعُهُ وَتُفْضِي أَيْضًا إِلَى شَرٍّ لِلْخُرُوجِ عَلَى الْأَئِمَّةِ الَّذِي يَحْصُلُ بِهِ سَفْكُ الدِّمَاءِ وَإِتْلَافُ الْأَمْوَالِ مَا لَا يَعْلَمُهُ بِهِ إِلَّا اللهُ
“Bai’at yang terdapat pada jamaah-jamaah merupakan bai’at yang ganjil dan mungkar. Di dalamnya terkandung makna bahwa seseorang menjadikan untuk dirinya dua imam dan dua penguasa, (pertama) imam tertinggi yang merupakan imam yang menguasai seluruh negeri, dan (kedua) imam yang dibai’atnya. Juga akan menjurus kepada kejahatan, dengan keluar dari ketaatan kepada para penguasa, yang dapat menyebabkan pertumpahan darah dan musnahnya harta benda, yang tidak ada yang mengetahuinya kecuali Allah Subhanahu wa Ta’ala.” (Silsilah Liqa’ Al-Bab Al-Maftuh, kaset no. 6, side B)
Oleh karena itu, hendaknya seorang muslim menyadari bahaya munculnya kelompok-kelompok yang mengikat para pengikutnya dengan bai’at. Munculnya kelompok yang seperti ini akan semakin menambah perpecahan kaum muslimin dan menjauhkan mereka dari jalan yang telah ditempuh oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam serta para sahabatnya g. Wallahu a’lam.


Penulis : Al-Ustadz Abu Karimah Askari bin Jamal