Subscribe:

Ads 468x60px

Pages

Bai’at dalam Timbangan As-Sunnah


Definisi Bai’at

Bai’at secara bahasa berasal dari kata بَايَعَ-مُبَايَعَةٌ yang bermakna saling mengikat janji. Disebut mubaya’ah karena diserupakan seperti dua orang yang saling menukar harta, di mana salah satunya menjual hartanya kepada yang lain. (Lihat Lisanul ‘Arab 8/26, ‘Umdatul Qari 1/154, Tajul ‘Arus 20/370)
Adapun secara istilah, diterangkan oleh Badruddin Al-’Aini rahimahullahu:

عَقْدُ الْإِمَامِ الْعَهْدَ بِمَا يَأْمُرُ النَّاسَ بِهِ

“Seorang imam mengikat perjanjian (untuk taat) terhadap apa yang dia perintahkan kepada manusia.” (‘Umdatul Qari, 1/154)

Ibnu Khaldun mengatakan, “Bai’at adalah perjanjian untuk taat. Di mana orang yang berbai’at telah berjanji kepada amir (pemimpin)nya untuk menyerahkan pandangannya dalam menentukan urusan dirinya dan kaum muslimin, tidak menyelisihinya dalam hal tersebut, serta menaati apa yang dibebankan kepada dirinya berupa perintah baik di saat semangat maupun terpaksa.” (Muqaddimah Ibnu Khaldun, hal. 209)
Dari penjelasan di atas, jelaslah bahwa inti dari bai’at tersebut adalah kewajiban orang yang telah berbai’at kepada orang yang dia telah berbai’at kepadanya untuk menjalankan serta taat terhadap apa yang telah menjadi ketetapan dan perintahnya.

Hukum bai’at

Bai’at merupakan perkara yang disyariatkan berdasarkan nash-nash yang terdapat di dalam Al-Kitab dan As-Sunnah. Sebab bai’at merupakan salah satu cara dalam menampakkan bentuk ketaatan seseorang terhadap pemimpinnya. Di antara nash yang menunjukkan disyariatkannya adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

لَقَدْ رَضِيَ اللهُ عَنِ الْمُؤْمِنِينَ إِذْ يُبَايِعُونَكَ تَحْتَ الشَّجَرَةِ فَعَلِمَ مَا فِي قُلُوبِهِمْ فَأَنْزَلَ السَّكِينَةَ عَلَيْهِمْ وَأَثَابَهُمْ فَتْحًا قَرِيبًا

“Sesungguhnya Allah telah ridha terhadap orang-orang mukmin ketika mereka berjanji setia kepadamu di bawah pohon, maka Allah mengetahui apa yang ada dalam hati mereka lalu menurunkan ketenangan atas mereka dengan memberi balasan kepada mereka dengan kemenangan yang dekat (waktunya).” (Al-Fath:18)
يَاأَيُّهَا النَّبِيُّ إِذَا جَاءَكَ الْمُؤْمِنَاتُ يُبَايِعْنَكَ عَلَى أَنْ لَا يُشْرِكْنَ بِاللهِ شَيْئًا وَلَا يَسْرِقْنَ وَلَا يَزْنِينَ وَلَا يَقْتُلْنَ أَوْلَادَهُنَّ وَلَا يَأْتِينَ بِبُهْتَانٍ يَفْتَرِينَهُ بَيْنَ أَيْدِيهِنَّ وَأَرْجُلِهِنَّ وَلَا يَعْصِينَكَ فِي مَعْرُوفٍ فَبَايِعْهُنَّ وَاسْتَغْفِرْ لَهُنَّ اللهَ إِنَّ اللهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ

“Wahai Nabi, apabila datang kepadamu perempuan-perempuan yang beriman untuk mengadakan janji setia, bahwa mereka tidak akan mempersekutukan sesuatu pun dengan Allah, tidak akan mencuri, tidak akan berzina, tidak akan membunuh anak-anaknya, tidak akan berbuat dusta yang mereka ada-adakan antara tangan dan kaki mereka serta tidak akan mendurhakaimu dalam urusan yang baik, maka terimalah janji setia mereka dan mohonkanlah ampunan kepada Allah untuk mereka. Sesungguhnya Allah Maha pengampun lagi Maha penyayang.” (Al-Mumtahanah:12)
Adapun hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, di antaranya adalah hadits Ubadah bin Ash-Shamit radhiyallahu ‘anhu, ia berkata:

بَايَعْنَا رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم عَلَى السَّمْعِ وَالطَّاعَةِ فِي الْعُسْرِ وَالْيُسْرِ وَالْمَنْشَطِ وَالْمَكْرَهِ وَعَلَى أَثَرَةٍ عَلَيْنَا وَعَلَى أَنْ لَا نُنَازِعَ الْأَمْرَ أَهْلَهُ وَعَلَى أَنْ نَقُولَ بِالْحَقِّ أَيْنَمَا كُنَّا لَا نَخَافُ في اللهِ لَوْمَةَ لَائِمٍ

“Kami telah membai’at Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk selalu mendengar dan taat (kepada penguasa) baik di saat susah maupun mudah, semangat atau terpaksa, dan di saat mereka merampas hak-hak kami, dan kami tidak boleh melepaskan ketaatan kepadanya, dan agar mengatakan kebenaran di mana pun kami berada, kami tidak takut karena Allah kepada celaan orang yang mencela.” (HR. Muslim no. 1709)
Demikian pula ucapan Jarir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu: “Aku membai’at Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menegakkan shalat, menunaikan zakat, dan memberi nasihat kepada setiap muslim.” (Muttafaqun ‘alaihi)
Bahkan dalil-dalil menunjukkan bahwa setiap muslim wajib berbai’at kepada pemimpin dan penguasa negerinya, serta diharamkan menyelisihinya dan keluar dari ketaatan kepadanya dalam perkara-perkara yang bukan merupakan bentuk maksiat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Diriwayatkan dari Abdulah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ خَلَعَ يَدًا مِنْ طَاعَةٍ لَقِيَ اللهَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لَا حُجَّةَ لَهُ وَمَنْ مَاتَ وَلَيْسَ فِي عُنُقِهِ بَيْعَةٌ مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً

“Barangsiapa melepaskan ketaatannya maka dia bertemu Allah dalam keadaan tidak memiliki hujjah dan barangsiapa yang mati dalam keadaan tidak berbai’at maka dia mati seperti mati jahiliah.” (HR. Muslim no. 1851)
Diriwayatkan pula dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ خَرَجَ مِنَ الطَّاعَةِ وَفَارَقَ الْجَمَاعَةَ ثُمَّ مَاتَ مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً
“Barangsiapa keluar dari ketaatan dan meninggalkan jama’ah lalu dia mati, maka dia mati seperti mati jahiliah.” (HR. Muslim no. 1848)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:

مَنْ أَتَاكُمْ وَأَمْرُكُمْ جَمِيعٌ عَلَى رَجُلٍ وَاحِدٍ يُرِيدُ أَنْ يَشُقَّ عَصَاكُمْ أَوْ يُفَرِّقَ جَمَاعَتَكُمْ فَاقْتُلُوهُ

“Siapa yang datang kepada kalian dalam keadaan kalian telah sepakat terhadap satu orang (untuk jadi pemimpin) lalu dia ingin merusak persatuan kalian dan memecah jama’ah kalian maka bunuhlah dia.” (HR. Muslim no. 1852)

Masih banyak lagi dalil-dalil yang semakna dengannya.
Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullahu mengatakan: “Dalam hadits ini terdapat dalil wajibnya taat kepada imam (penguasa) yang telah disepakati untuk dibai’at, serta diharamkan melakukan pemberontakan terhadapnya, meskipun dia (penguasa tersebut) berbuat zalim dalam menetapkan hukum. Dan bai’at tidak tercabut karena adanya kefasikan yang diperbuatnya.” (Fathul Bari, 1/72).

Hukum Membatalkan Bai’at

Penulis : Al-Ustadz Abu Karimah Askari bin Jamal 


Bai’at merupakan ikatan janji, dan seorang muslim diperintahkan untuk menyempurnakan ikatan janji tersebut. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا أَوْفُوا بِالْعُقُودِ

“Wahai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu.” (Al-Maidah: 1)

Juga firman-Nya:

وَأَوْفُوا بِالْعَهْدِ إِنَّ الْعَهْدَ كَانَ مَسْئُولًا

“Dan penuhilah janji; sesungguhnya janji itu pasti dimintai pertanggungjawabannya.” (Al-Isra: 34)
Hal ini lebih ditegaskan lagi oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan sabdanya:

مَنْ خَلَعَ يَدًا مِنْ طَاعَةٍ لَقِيَ اللهَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لَا حُجَّةَ لَهُ وَمَنْ مَاتَ وَلَيْسَ فِي عُنُقِهِ بَيْعَةٌ
مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً
“Barangsiapa melepas ketaatannya maka dia bertemu Allah pada hari kiamat dalam keadaan tidak memiliki hujjah, dan siapa yang mati dalam keadaan tidak berbai’at, maka dia mati jahiliah.” (HR. Muslim no. 1851, dari Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma)
Sabdanya pula:

مَنْ كَرِهَ مِنْ أَمِيرِهِ شَيْئًا فَلْيَصْبِرْ عَلَيْهِ فَإِنَّهُ لَيْسَ أَحَدٌ مِنَ النَّاسِ خَرَجَ مِنَ السُّلْطَانِ شِبْرًا فَمَاتَ عَلَيْهِ إِلاَّ مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً

“Barangsiapa melihat sesuatu dari pemimpinnya maka hendaknya dia bersabar. Karena tidaklah seseorang keluar sejengkal dari ketaatan kepada penguasa lalu dia mati, kecuali dia mati seperti mati jahiliah.” (HR. Al-Bukhari no. 6645, Muslim no. 1849, dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma)
Namun perlu dipahami bahwa bukanlah mati jahiliah yang dimaksud adalah mati dalam keadaan kafir. Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullahu: “Yang dimaksud mati jahiliah yaitu seperti matinya kaum jahiliah di atas kesesatan dan tidak mempunyai pemimpin yang ditaati. Sebab, dahulu mereka tidak mengenal kepemimpinan tersebut. Bukan yang dimaksud bahwa dia mati dalam keadaan kafir, namun dia mati dalam keadaan bermaksiat.” (Fathul Bari, Ibnu Hajar, 13/7)
As-Suyuthi rahimahullahu juga mengatakan, “Makna ‘dia mati seperti mati jahiliah’ yaitu keadaan matinya sebagaimana matinya kaum jahiliah dahulu, dalam kesesatan dan perpecahan.” (Syarah Sunan An-Nasa’i, As-Suyuthi, 7/123)

Kapan Bai’at Dianggap Sah ?



Bai’at yang dilakukan kepada seseorang dianggap sah jika:
Pertama: pemimpin terdahulu menentukan penggantinya.
Hal ini sebagaimana Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menyerahkan urusan khilafah kepada Abu Bakr Ash-Shiddiq rahiyallahu ‘anhu menurut sebagian pendapat para ulama1. Demikian pula Abu Bakr rahiyallahu ‘anhu yang telah menyerahkan tampuk khilafah kepada ‘Umar bin Al-Khaththab rahiyallahu ‘anhu, Mu’awiyah bin Abi Sufyan rahiyallahu ‘anhuma yang menyerahkan khilafah kepada anaknya, Yazid bin Muawiyah.
Kedua: ketetapan ahlul halli wal ‘aqdi
Dengan cara berkumpulnya ahlul halli wal ‘aqdi, yang terdiri dari kalangan ulama, orang-orang bijak, dan yang berkompeten dalam bidang pemerintahan. Mereka bermusyawarah untuk menentukan pilihan siapa yang akan diangkat menjadi pemimpin, seperti yang terjadi pada saat diangkatnya Abu Bakr Ash-Shiddiq rahiyallahu ‘anhu.
Demikian pula ketika ‘Umar bin Al-Khaththab rahiyallahu ‘anhu menyerahkan urusan khilafah kepada enam orang sahabat yang merupakan bagian dari sepuluh sahabat yang mendapat jaminan surga. Mereka adalah Thalhah bin ‘Ubaidillah, Zubair bin Al-Awwam, Abdurrahman bin ‘Auf, Sa’d bin Abi Waqqash, ‘Ali bin Abi Thalib, dan ‘Utsman bin ‘Affan g, yang akhirnya mereka sepakat untuk memilih ‘Utsman bin ‘Affan rahiyallahu ‘anhu sebagai khalifah. Demikian pula pengangkatan ‘Ali bin Abi Thalib rahiyallahu ‘anhu menjadi khalifah.
Dalam kedua ketetapan tersebut di atas, ahlul halli wal ‘aqdi berkumpul untuk menetapkan siapa yang berhak menjadi pemimpin. Ahlul halli wal ‘aqdi adalah mereka yang memenuhi tiga persyaratan:
1) Mempunyai sifat adil (keshalihan agama), bukan orang fasik.
2) Berilmu, yang dengannya dia bisa melihat siapa yang berhak menjadi pemimpin.
3) Memiliki pandangan dan sifat bijak dalam menetapkan pemimpin.
(lihat Al-Ahkam As-Sulthaniyyah, Al-Mawardi, hal. 6)
Mereka yang berkumpul dalam ahlul halli wal ‘aqdi memerhatikan hal-hal berikut:
1) Orang yang dibai’at harus memenuhi persyaratan secara syar’i untuk diangkat menjadi imam. Syarat-syarat yang berhak menjadi imam adalah:
a) Memiliki sifat adil (keshalihan agama), bukan orang fasik dan bukan pula kafir.
b) Berilmu yang dengannya ia mampu berijtihad dalam menyelesaikan berbagai problem yang mungkin terjadi.
c) Sehat pancaindera, penglihatan, pendengaran, lisan, agar dia mampu menjangkau permasalahan yang terjadi.
d) Anggota tubuhnya selamat dari sesuatu yang mencegahnya bergerak bebas dengan cekatan (sehat jasmani).
e) Memiliki pandangan yang baik dalam mengurusi kemaslahatan umat.
f) Keberanian dan ketangguhan untuk melindungi rakyatnya serta berjihad melawan musuh.
g) Harus berasal dari nasab Quraisy2.
(Lihat Al-Ahkam As-Sulthaniyyah, Al-Mawardi, hal. 6. Lihat pula Adhwa’ul Bayan, Asy-Syinqithi,1/28)
2) Jika yang memiliki sifat-sifat untuk menjadi seorang pemimpin lebih dari satu, maka hendaknya mereka memilih mana yang lebih memberikan maslahat bagi umat dan lebih layak. Yang terbaik adalah yang memiliki dua sifat ini: amanah dan kekuatan. (lihat As-Siyasah Asy-Syar’iyyah, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu, hal. 19-54)
3) Pengangkatan seseorang menjadi pemimpin harus didukung oleh kekuatan yang dapat mengatur masyarakat, seperti kekuatan militer dan yang semisalnya. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu menerangkan, “Kepemimpinan, menurut mereka (Ahlus Sunnah, pen.), ditetapkan dengan persetujuan yang memiliki kekuatan. Seseorang tidak menjadi imam hingga disetujui oleh pemilik kekuatan, yang dengan ketundukan mereka akan terwujud tujuan kepemimpinan. Sebab, tujuan kepemimpinan dapat terwujud dengan kekuatan dan kekuasaan. Maka jika seseorang dibai’at dan bersamaan dengan itu terwujud kekuatan dan kekuasaan, maka dia menjadi pemimpin (yang sah). Oleh karenanya berkata para imam salaf: ‘Siapa yang memiliki kekuatan dan kekuasaan, yang dengan keduanya terwujud tujuan kepemimpinan, maka dia menjadi ulil amri yang Allah Subhanahu wa Ta’ala perintahkan taat kepada mereka selama mereka tidak memerintahkan kepada maksiat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala’.” (Minhajus Sunnah An-Nabawiyyah, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, 1/527. Lihat pula pada hal. 553, 550, jilid 4/388)
Ini pulalah makna ucapan Umar bin Al-Khaththab rahiyallahu ‘anhu:
مَنْ بَايَعَ رَجُلًا مِنْ غَيْرِ مَشُورَةٍ مِنَ الْمُسْلِمِينَ فَلَا يُتَابَعُ هُوَ وَلَا الَّذِي تَابَعَهُ تَغِرَّةً أَنْ يُقْتَلَا
“Barangsiapa membai’at seseorang tanpa musyawarah dari kaum muslimin maka ia tidak boleh diikuti, dan tidak pula mengikuti para pendukungnya, karena khawatir mereka akan dibunuh (yang berbai’at dan yang dibai’at).” (HR. Al-Bukhari no. 6442)
Dari sini jelaslah bahwa apa yang dilakukan oleh sebagian jamaah dan kelompok yang menetapkan bai’at kepada para pengikutnya adalah bai’at yang batil dan tidak sah. Wajib bagi yang telah melakukannya untuk segera meninggalkannya.
4) Bukan syarat sahnya bai’at adalah kesepakatan seluruh dari kalangan ahlul halli wal ‘aqdi, namun jika telah dibai’at oleh sebagian ahlul halli wal ‘aqdi dan mendapat dukungan kekuatan dari ahli syaukah (yang memiliki kekuatan, seperti kekuatan militer, pen.), maka dia menjadi seorang pemimpin.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu berkata, “Seorang penguasa tidak menjadi penguasa dengan persetujuan satu, dua, atau empat orang, kecuali jika kesepakatan mereka didukung kesepakatan yang lainnya sehingga dia menjadi penguasa. Demikian pula setiap perkara yang membutuhkan dukungan yang tidak mungkin terwujud kecuali dengan kesepakatan orang yang siap untuk bekerja sama. Oleh karenanya, Ali rahiyallahu ‘anhu dibai’at dan mendapat dukungan kekuatan sehingga beliau menjadi imam.” (Minhajus Sunnah, 1/527)
Beliau juga berkata, “Ali rahiyallahu ‘anhu dibai’at oleh ahli syaukah (yang memiliki kekuatan), meskipun mereka tidak sepakat atasnya seperti kesepakatan mereka terhadap (khalifah) sebelumnya. Namun tidak diragukan bahwa beliau mempunyai kekuasaan dan kekuatan dengan bai’at ahli syaukah terhadapnya. Nash telah menunjukkan bahwa kekhilafahan beliau merupakan khilafah nubuwwah.” (Minhajus Sunnah, 4/388)
Ketiga: at-taghallub (kudeta)
Yang dimaksud taghallub adalah ketika sekelompok orang yang memiliki kekuatan melakukan kudeta terhadap pemimpin sebelumnya. -Meskipun cara ini haram dilakukan terhadap pemimpin sebelumnya-, namun bila mereka berhasil merebut serta menguasai kursi kekuasaan dan mengatur rakyat, maka dia menjadi seorang pemimpin yang sah dan wajib ditaati, meskipun tidak memenuhi persyaratan imamah. Berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
وَإِنْ تَأَمَّرَ عَلَيْكُمْ عَبْدٌ
“Meskipun yang memerintah kalian adalah seorang budak.”
Asy-Syinqithi rahimahullahu berkata:
أَمَّا لَوْ تَغَلَّبَ عَبْدٌ حَقِيْقَةً بِالْقُوَّةِ فَإِنَّ طَاعَتَهُ تَجِبُ إِخْمَادًا لِلْفِتْنَةِ وَصَوْنًا لِلدِّمَاءِ مَا لَمْ يَأْمُرْ بِمَعْصِيَةٍ
“Jika seorang budak secara nyata berhasil menguasai secara paksa dengan kekuatannya, maka taat kepadanya adalah wajib dalam rangka memadamkan gejolak (kekacauan) dan menghindari pertumpahan darah, selama dia tidak memerintahkan kepada maksiat.” (Adhwa’ul Bayan, Asy-Syinqithi, 1/27)
Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullahu berkata menukil dari Ibnu Baththal rahimahullahu:
وَقَدْ أَجْمَعَ الْفُقَهَاءُ عَلَى وُجُوبِ طَاعَةِ السُّلْطَانِ الْمُتَغَلِّبِ وَالْجِهَادِ مَعَهُ وَأَنَّ طَاعَتَهُ خَيْرٌ مِنَ الْخُرُوجِ عَلَيْهِ لِمَا فِي ذَلِكَ مِنْ حَقْنِ الدِّمَاءِ وَتَسْكِينِ الدَّهْمَاءِ
“Para fuqaha sepakat bahwasanya wajib taat kepada penguasa yang menaklukkan secara paksa dan berjihad bersamanya, dan bahwasanya taat kepadanya lebih baik daripada melakukan pemberontakan terhadapnya, dalam rangka mencegah pertumpahan darah dan menenangkan masyarakat.” (Fathul Bari, 13/7)
Syaikhul Islam Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullahu mengatakan:
الْأَئِمَّةُ مُجِْمِعُونَ مِنْ كُلِّ مَذْهَبٍ عَلَى أَنَّ مَنْ تَغَلَّبَ عَلَى بَلَدٍ أَوْ بُلْدَانٍ؛ لَـُه حُكْمُ الْإِمَامِ فِي جَمِيعِ الْأَشْيَاءِ
“Para imam dari setiap madzhab sepakat bahwa siapa yang berhasil menaklukkan satu negeri atau beberapa negeri, maka hukumnya sebagai imam dalam segala sesuatu.” (Ad-Durar As-Saniyyah, 7/239)
1 Namun pendapat yang benar perihal bagaimana proses Abu Bakr rahiyallahu ‘anhu menjadi khalifah adalah pendapat yang akan disebutkan.
2 Hal ini dalam kondisi ahlul halli wal ‘aqdi memilih dan jika orang Quraisy tersebut memenuhi syarat-syarat yang lain. Disamping tentunya memilih jenis laki-laki, karena perempuan tidak boleh menjadi pemimpin negara.

Bagaimana Seseorang Berbai’at ?

Penulis: Al-Ustadz Abu Karimah Askari bin Jamal

Dalam berbai’at, ada beberapa cara yang bisa dilakukan :
Jabatan tangan yang disertai ucapan
Yaitu dengan mendatangi seorang yang dibai’at dan berjabat tangan dengannya lalu mengucapkan pernyataan bai’atnya. Ini yang biasa dilakukan oleh ahlul halli wal ‘aqdi dan orang yang memungkinkan untuk datang kepadanya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
إِنَّ الَّذِينَ يُبَايِعُونَكَ إِنَّمَا يُبَايِعُونَ اللهَ يَدُ اللهِ فَوْقَ أَيْدِيهِمْ
“Bahwasanya orang-orang yang berjanji setia kepada kamu sesungguhnya mereka berjanji setia kepada Allah. Tangan Allah di atas tangan mereka.” (Al-Fath: 10)
Demikian pula sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
وَمَنْ بَايَعَ إِمَامًا فَأَعْطَاهُ صَفْقَةَ يَدِهِ وَثَمَرَةَ قَلْبِهِ فَلْيُطِعْهُ إِنِ اسْتَطَاعَ فَإِنْ جَاءَ آخَرُ يُنَازِعُهُ فَاضْرِبُوا عُنُقَ الْآخَرِ
“Barangsiapa yang membai’at seorang imam lalu dia telah memberikan jabatan tangan dan kerelaan hatinya maka hendaknya dia taat kepadanya sebatas kemampuannya. Jika ada yang lain dibai’at, maka penggallah leher yang lain itu (yang memenggal adalah pemerintah yang sah, red.).” (HR. Muslim no. 1844, dari Abdullah bin ‘Amr bin Al-’Ash radhiyallahu ‘anhuma)
Kata shafqah berasal dari kata tashfiq bil yad yaitu menepuk dengan tangan. Sebab dua orang yang saling berbai’at meletakkan tangannya di tangan yang lainnya ketika bersumpah dan berbai’at. (Lihat ‘Aunul Ma’bud,11/214, An-Nihayah fi Gharib Al-Hadits, Ibnul Atsir, 3/38)

Ucapan tanpa jabatan tangan
Seperti ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengambil bai’at dari para wanita. Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata setelah menyebutkan poin-poin bai’at:
وَاللهِ مَا مَسَّتْ يَدُهُ يَدَ امْرَأَةٍ قَطُّ فِي الْمُبَايَعَةِ وَمَا بَايَعَهُنَّ إِلَّا بِقَوْلِهِ
“Demi Allah, tangan beliau tidak pernah menyentuh tangan seorang wanita sekalipun dalam membai’at. Beliau tidak membai’at mereka melainkan hanya dengan ucapan.” (HR. Al-Bukhari no. 2564, Muslim no. 1866. Lafadz ini dari riwayat Al-Imam Al-Bukhari rahimahulllahu)
Utusan amir Ini berlaku bagi orang yang memiliki udzur untuk bai’at secara langsung, seperti orang yang terkena penyakit lepra. Sebagaimana yang diriwayatkan oleh ‘Amr bin Asy-Syarid dari ayahnya, ia berkata: “Di antara utusan Tsaqif ada seseorang yang terkena penyakit lepra, maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengirim utusan kepadanya untuk mengatakan kepadanya: ‘Pulanglah, sungguh aku telah membai’atmu’.” (HR. Muslim no. 2231)
Mengirim surat
Sebagaimana yang dilakukan oleh Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma tatkala menyatakan bai’at kepada Abdul Malik bin Marwan melalui surat yang dikirimkan kepadanya. (Diriwayatkan Al-Bukhari no. 7203)
Juga sebagaimana yang dilakukan oleh Raja Najasyi, di mana beliau menulis surat kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menyebutkan: “Bismillahirrahmanirrahim. Kepada Muhammad Rasulullah, dari An-Najasyi Al-Asham bin Abjar. Salamun alaika, wahai Nabi Allah, dari Allah warahmatullahi wabarakatuh.
Tidak ada sesembahan yang berhak disembah kecuali Dia yang telah memberi petunjuk kepadaku. Telah sampai kepadaku suratmu, wahai Rasulullah, tentang apa yang engkau sebutkan perihal Isa q. Demi Rabb pemilik langit dan bumi, sesungguhnya Isa tidak lebih dari apa yang telah engkau sebutkan. Dan kami telah mengetahui apa yang engkau utus kepada kami. Kami telah menjamu anak pamanmu (Ja’far bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, pen.) dan para sahabatnya. Aku bersaksi bahwa engkau adalah Rasulullah yang jujur dan dibenarkan. Aku telah berba’iat kepadamu, dan berbai’at kepada anak pamanmu. Dan aku telah berserah diri kepada Allah Rabb sekalian alam.” (HR. Al-Baihaqi dalam Dala’il An-Nubuwwah 2/309, Ibnul Atsir dalam Usdul Ghabah 1/97, Ath-Thabari dalam Tarikhnya 2/132, dari Muhammad bin Ishaq. Namun riwayatnya mu’dhal)
Namun tidak disyaratkan setiap yang menyatakan bai’atnya untuk diharuskan mendatangi pemimpin lalu berbai’at di hadapannya. Bai’at ahlul halli wal ‘aqdi telah mewakili yang lainnya, dengan cukup menampakkan sikap mendengar dan taat. Al-Maziri rahimahulllahu berkata:

يَكْفِي فِي بَيْعَةِ الْإِمَامِ أَنْ يَقَعَ مِنْ أَهْلِ الْحَلِّ وَالْعَقْدِ وَلَا يَجِبُ الْاِسْتِيعَابُ، وَلَا يَلْزَمُ كُلَّ أَحَدٍ أَنْ يَحْضُرَ عِنْدَهُ وَيَضَعَ يَدَهُ فِي يَدِهِ، بَلْ يَكْفِي الْتِزَامُ طَاعَتِهِ وَالْانْقِيَادُ لَهُ بِأَنْ لاَ يُخَالِفَهُ وَلاَ يَشُقَّ الْعَصَا عَلَيْهِ
“Cukup dalam membai’at imam dilakukan pihak ahlul halli wal ‘aqdi dan tidak wajib bagi seluruhnya. Tidak mesti setiap orang harus hadir lalu meletakkan tangannya di tangan (orang yang di bai’at). Namun cukup menyatakan komitmen ketaatan dan tunduk kepadanya dengan tidak menyelisihinya serta tidak merusak persatuan.” (Fathul Bari, 7/494)An-Nawawi rahimahulllahu berkata pula:
أَمَّا الْبَيْعَةُ فَقَدِ اتَّفَقَ الْعُلَمَاءُ عَلَى أَنَّهُ لَا يُشْتَرَطُ لِصِحَّتِهَا مُبَايَعَةُ كُلِّ النَّاسِ، وَلاَ كُلِّ أَهْلِ الْحَلِّ وَالْعَقْدِ، وَإِنَّمَا يُشْتَرَطُ مُبَايَعَةُ مَنْ تَيَسَّرَ إِجْمَاعُهُمْ مِنَ الْعُلَمَاءِ وَالرُّؤَسَاءِ وَوُجُوهِ النَّاسِ
“Adapun bai’at, para ulama telah sepakat bahwa tidak disyaratkan sahnya bai’at dengan adanya bai’at dari seluruh manusia, tidak pula dari semua ahlul halli wal ‘aqdi. Hanyalah disyaratkan bai’at mereka yang mudah untuk mencapai kesepakatan mereka dari kalangan para ulama, para pemuka dan tokoh-tokoh masyarakat.” (Syarah Muslim, An-Nawawi rahimahulllahu, 12/77)

Shighat bai’at
Inti dari shigat bai’at adalah menyatakan untuk senantiasa mendengar dan taat selama dalam perkara kebaikan. Shigat yang disebutkan dalam bai’at sesuai dengan kondisi dan keadaan yang dikehendaki dalam bai’at tersebut. Apakah bai’at untuk mendengar dan taat, bai’at untuk berjihad, bai’at untuk menegakkan shalat, menunaikan zakat, dan saling menasihati antara sesama muslim, bai’at untuk berperang hingga titik darah penghabisan, serta yang semisalnya, yang telah dijelaskan di dalam hadits-hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan yang diamalkan oleh para ulama salaful ummah tatkala mereka berbai’at kepada imam di masanya.
Diriwayatkan oleh Al-Imam Al-Bukhari rahimahulllahu dari Abdullah bin Dinar rahimahulllahu, dia berkata: Aku menyaksikan tatkala kaum muslimin sepakat untuk mengangkat Abdul Malik, beliau menulis:
إِنِّي أُقِرُّ بِالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ لِعَبْدِ اللهِ عَبْدِ الْمَلِكِ أَمِيرِ الْمُؤْمِنِينَ عَلَى سُنَّةِ اللهِ وَسُنَّةِ رَسُولِهِ مَا اسْتَطَعْتُ وَإِنَّ بَنِيَّ قَدْ أَقَرُّوا بِمِثْلِ ذَلِكَ
“Sesungguhnya aku menyatakan mendengar dan taat kepada hamba Allah, Abdul Malik, Amirul Mukminin, di atas ketetapan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Sunnah Rasul-Nya selama aku mampu, dan sesungguhnya anak-anakku telah menyatakan hal yang sama.” (HR. Al-Bukhari no. 7203 dan 7205)