Subscribe:

Ads 468x60px

Pages

Mauluddin Akhyar (Mantan Wakil Empat)

Sejak kecil hingga dewasa dididik di lingkungan yang taat beragama. Namun kemudian ia tersesat. Kini, selain mengajar, ia juga membuat forum bagi para mantan penganut Islam Jamaah. Puluhan santri berkelompok di sudut-sudut Masjid Al-Abror di komplek Pondok Pesantren Ibnu Taimiyyah, Kelurahan Kebokura, Kecamatan Sumpiuh, Banyumas, Jawa Tengah. Setiap kelompok dibimbing seorang guru. Tak ayal masjid berukuran 40 x 40 meter itu riuh dengan suara orang mengaji. 

“Assalamu’alaikum, sudah lama menunggu?” tanya Mauluddin Akhyar (43) kepada Suara Hidayatullah yang menemuinya Oktober lalu. Mauluddin adalah staf pengajar di pesantren tersebut. 

Mengenakan kopiah putih dan celana cingkrang dibalut sarung, disalaminya satu per satu beberapa lelaki yang ada di sana. Suasana begitu santai. Padahal, dulunya Mauluddin adalah orang yang anti bersalaman dengan sembarang orang. 

Keluarga Islam Jamaah 

Sekitar 31 tahun lalu, di Desa Mendahara Kabupaten Tanjung Jabung, Provinsi Jambi. Mauluddin lahir di desa ini dari orang tua yang memiliki latar belakang agama yang kuat. Ayahnya, Abdul Fattah, adalah guru mengaji dan imam kampung. Begitu pun dengan ibunya, Kumala. 

Tahun 1975, Mauluddin sekeluarga pindah ke Sungai Jambat, Jambi. Selain dikenal dengan pertaniannya yang subur, daerah ini juga subur dengan aliran Islam Jamaah, yang kini dikenal dengan nama Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII). Sebuah kelompok ekslusif yang mengkafirkan orang Islam di luar jamaahnya. 

Walau mayoritas, namun LDII di Sungai Jambat mendapat penentangan hebat dari masyarakat setempat. Ketegangan pun tak terelakkan. 

Diam-diam pihak LDII rajin mendekati Abdul Fattah yang sebenarnya menjadi motor penolakan warga terhadap LDII. Perlahan dan pasti Abdul Fattah pun terpengaruh. “LDII terus melakukan pendekatan kepada orang tua (saya),” kata Mauluddin.

Tahun 1977, Fattah menjadi anggota LDII yang fanatik. Ia menyekolahkan anak sulungnya, Abdul Qodir, ke pesantren Sukotiro. Sebuah pondok pengkaderan LDII di Jombang, Jawa Timur. Beberapa tahun kemudian, Abdul Qodir – yang sudah menjadi pengajar – membawa Mauluddin nyantri di Sukotiro. Saat itu, Mauluddin masih duduk di kelas 4 SD.

LDII Geger

Ketika muncul buku Dalam Cengkeraman Amir Islam Jama’ah, tulisan Hasan Bisri dan Anshari Thayib, warga Islam Jamaah di mana-mana menjadi resah. Khawatir akan pengaruh buku tersebut, petinggi LDII di Sukotirto gencar melancarkan doktrinnya kepada santri, termasuk Mauluddin. 

”Mereka mengutip perkataan Waraqah bin Naufal (paman Khadijah, istri Nabi), bahwa jalan kebenaran seperti Islam Jamaah tidak mudah. Pengikutnya akan dibenci, dimusuhi, bahkan sampai diusir dari kampung halamannya. Kebenaran akan selalu mendapat perlawanan dari orang-orang yang tidak suka, sebagaimana Nabi dulu. Inilah bukti kebenaran,” papar Mauluddin menirukan perkataan guru-gurunya dulu.

Walhasil, Mauluddin hanya boleh membaca buku-buku pegangan internal Islam Jamaah seperti Kitabul Adillah, Kitab Imaroh, Janaiz, Ahkam, dan Kanzul Ummal. Selain itu haram dibaca. Semua disembunyikan. Dipendam, bahkan ada yang dikubur.

Doktrin yang juga sering dijejalkan ke dalam pikiran Mauluddin saat itu, orang Muslim harus punya amir (pemimpin) dan mentaatinya dengan cara dibaiat. Namun dalam ajaran Islam Jamaah, kata Mauluddin, yang dimaksud Amir adalah Nur Hasan Ubaidah Lubis, pendiri Islam Jamaah.

Dinilai berbakat dan pintar, tahun 1980, Mauluddin sudah menjadi mubaligh yang direkomendasikan oleh Keamiran Pusat Islam Jamaah. Tugas pertamanya di Pamekasan Madura selama dua tahun. 

Dari Paku Bumi ke Wakil Empat

Pada Maret 1982, pendiri Islam Jamaah, Nur Hasan Ubaidah meninggal. Dia digantikan putra sulungnya, Abdul Zhahir. Langkah pertama yang dilakukan Abdul Zhahir adalah membentuk ulama pusat yang dinamainya “Paku Bumi”. Yakni jabatan tertinggi dalam LDII, sebelum Wakil Empat dan Amir Pusat. 

Mauluddin termasuk anak yang direkrut. Bersama 81 anak lainnya dari beberapa daerah, ia dibawa ke Kediri untuk dibina. “Saat itu saya sudah yakin betul, tidak ada jalan keselamatan kecuali dalam jamaah ini. Maka jamaah ini harus dikembangkan,” kenang putra Bugis ini.
Dianggap memiliki militansi dan loyalitas kepada gerakan, pada tahun 2004 Mauluddin diangkat menjadi Wakil Empat LDII. 

Perenungan Berbuah Tobat

Kata Mauluddin, kendati mendapat fasilitas rumah pribadi, mobil, dan motor, tetapi hatinya tak pernah tenang. Beberapa ajaran gurunya menjadi tanda tanya di kepalanya. ”Apakah ini benar?” ucapnya.

Tahun 2008, di hadapan wakil empat lainnya ia terang-terangan menolak sejumlah ajaran LDII, terutama pengkafiran terhadap orang Islam di luar LDII. Termasuk infak sebesar 10 persen bagi semua jamaah tanpa kecuali. 

Tingkah Mauluddin tercium sampai ke pucuk pimpinan. Ia dianggap membangkang, lalu dirinya diminta meninggalkan jabatan dan keluar dari pusat Keamiran LDII di Kediri.

Sejak itu dirinya diumumkan telah murtad, dan setiap warga LDII dilarang berhubungan dengannya. ”Ada yang mengirimkan SMS ancaman pembunuhan kepada saya. Ada yang melaknat dan mendoakan agar saya cepat mati,” kata Mauluddin sambil tertawa.

Mauluddin juga diisukan keluar dari LDII karena sakit hati. Bahkan di beberapa daerah ia diisukan menjadi tukang ojek dan hidup susah karena keluar dari jamaah.  Kata Mauluddin, cara yang paling tepat untuk menyelesaikan dan memberikan pencerahan kepada anggota LDII adalah dengan melakukan dialog.

”Saya ingin bicara dengan petinggi LDII, itu saja,” ujar Mauluddin. Jika dialog tidak menemukan titik temu, maka harus kembali kepada rujukan awal ke Darul Hadits, Makkah, di Arab Saudi. Sebab katanya, jangan sampai perkataan para ulama yang ada di Darul Hadits, yang diakui pendiri LDII sebagai sekolahnya, hanya dicomot seenaknya saja. 

Meski demikian, dukungan istri dan anak-anak mengiringi perjuangan Mauluddin. Istrinya, Nur Falah, sering mengingatkan agar tetap tabah dan sabar. ”Istri mendukung penuh keputusan saya. Kepada anak-anak saya sampaikan mereka harus paham apa yang sebenarnya terjadi,” katanya.

Kini, setiap pagi selepas shalat Shubuh, Mauluddin rutin membimbing kegiatan hafalan qur`an seluruh santri di Masjid Al Abror, Pondok Pesantren Ibnu Taimiyyah. Sedangkan di dalam kelas, ia mengajar ilmu tajwid, tiga kali seminggu. 

“Di luar waktu-waktu itu, bapak meluangkan waktu untuk muroja’ah hafalannya. Kadang sama saya atau dengan anak-anak,” ujar Nur Falah. 

Sejak masih di LDII, Mauluddin memang sudah hafal 30 juz al-Qur`an. Selain itu, bersama dengan sejumlah mantan LDII, ia mendirikan Forum Ruju’ Ilal Haq, yang bermaksud mewadahi para mantan LDII yang telah kembali kepada kemurnian Islam. Untuk mensosialisasikan dakwahnya, mereka juga membuat weblog beralamat www.rujuilalhaq.blogspot.com. 

Melalui weblog ini, para mantan LDII juga telah menyatakan permohonan maaf lahir batin atas dosa-dosa yang selama ini kerap menganggap kaum Muslimin selain LDII adalah kafir. *Ainuddin/Suara Hidayatullah