Subscribe:

Ads 468x60px

Pages

Posisi Ijtihad Imam


Sebagaimana telah diketahui bahwa berdasarkan sumbernya hukum islam secara garis besar terbagi atas tiga bagian yakni hukum Allah, rasulullah, dan ijtihad dari mujtahid.

Pada pembahasan kali ini, kami akan coba melanjutkan pembahasan sebelumnya tentang sumber ilmu LDII. Pada pembahasan yang lalu, kami telah isyaratkan indikasi penyempitan sumber ilmu yang hanya boleh diambil oleh orang-orang LDII dari kalangan muballigh mereka sendiri.

Pada tatanan realita, praktek yang terjadi di kalangan LDII adalah adanya teks bulanan pada setiap bulannya yang berisikan ijtihad dan nasihat imam pusat yang dibai'at oleh seluruh warga LDII. Nasihat ijtihad itu berisikan berbagai macam perkara, biasanya terkait hal dan keadaan pada bulan diturunkannya teks tersebut.

Lalu, bagaimana posisi ijtihad imam bagi kalangan LDII dalam kaitannya sebagai sumber hukum ?

Ijtihad imam, sebagaimana yang kami saksikan, merupakan hal yang sangat sakral, dan posisinya seakan menjadi rujukan utama dalam menentukan hukum di kalangan LDII. Hal ini dibuktikan dengan kecenderungan warga LDII untuk mengabaikan segala bentuk penjelasan dan peringatan yang diperoleh dari kajian quran dan sunnah jika hal tersebut bertentangan dengan arahan Imam mereka. Mungkin anda akan bertanya, apakah ada kemungkinan kontradiksi antara penjelasan quran dan sunnah dalam kajian-kajian di majelis LDII dengan ijtihad imamnya? dalam perspektif kami- Iya, dan insyaAllah akan kami sebutkan satu demi satu pada kesempatan berikutnya.

Seperti yang telah kami singgung pada tulisan sebelumnya, hal ini dikarenakan oleh opini bentukan di kalangan mereka sendiri bahwa keilmuan imam dan wakil-wakilnya serta seluruh ulama-ulama pusat LDII dalam menelaah quran dan sunnah sudah sangat mumpuni, sehingga menyandarkan segala hal peribadatan kepada ijtihad imam dirasakan menjadi sangat wajar bahkan terkesan harus bagi mereka.

Sewaktu kami masih aktif sebagai muballigh LDII kami menyaksikan hampir seluruh dari saudara-saudara kami di LDII, termasuk kami tentunya, tidak menyadari telah menempatkan aturan/ijtihad imam pada tempat yang sejajar dengan aturan Allah dan Rasul-Nya, bahkan lebih di atas. Semoga Allah menyadarkan mereka atas anggapan mereka itu, dan alhamdulillah rabbil 'alamin karena Allah telah menyadarkan kami akan tinggi dan luhurnya peraturan Allah dan rasul-Nya mengalahkan seluruh aturan manusia di muka bumi ini.

Sampai di sini kami telah mengerucutkan potensi inkonsistensi rujukan hukum di kalangan LDII. Kami menyaksikan bahwa klaim pemurnian kajian quran dan sunnah mengalami distorsi pada tatanan aplikasinya. Secara umum warga LDII mengakui bahwa hukum agama bersumber dari Allah, rasul-Nya, dan mujtahid, tetapi pada kenyataannya mengambil rujukan dari ijtihad imam mereka menempati porsi yang lebih dominan daripada hukum yang datang dari quran dan sunnah. Seperti yang telah kami singgung di atas, kedepan, insyaAllah, akan kami sebutkan beberapa hal terkait ketidak-selarasan antara kajian yang ditemui dalam sumber Allah dan Rasul-Nya dengan ijtihad imam LDII.

Jika anda adalah anggota aktif LDII, atau bahkan muballighin LDII, anda tentu dapat melihat secara jujur, bagaimana kelumrahan mengenyampingkan apapun hasil kajian dari majlis kajian LDII dengan semangat "untuk tidak menyelisihi ijtihad imam" anda. Bagi sebagian besar warga LDII, akan merasa bahwa mentaati ijtihad adalah perbuatan yang mulia, hal tersebut adalah ibadah, dan alasan-alasan lain. Mudah-mudahan Allah memberikan taufik dan hidayah kepada seluruh kaum muslimin untuk mengetahui mana yang prioritas dari sumber hukum agama ini.

Sedikit tambahan referensi terkait ijtihad.

Dr. Muhammad bin Husain al-Jizani memaparkan, bahwa ijtihad secara terminologi adalah ‘mengerahkan segala kemampuan dalam rangka mengkaji dalil-dalil syari’at dengan tujuan menarik kesimpulan hukum syari’at’ (lihat Ma’alim Ushul Fiqh, hal. 464 cet. Dar Ibnul Jauzi).

Imam asy-Syafi’i rahimahullah berkata, “Tidaklah suatu pendapat wajib diikuti dalam segala keadaan kecuali Kitabullah atau Sunnah Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Adapun segala sesuatu selain keduanya harus mengikuti keduanya.” (Jima’ al-‘Ilm hal. 11, sebagaimana tertera dalam Ma’alim Ushul Fiqh, hal. 68).

 Ucapan beliau ini benar-benar dibangun di atas kepahaman terhadap ajaran Islam, pokok maupun cabang-cabangnya. Hal itu selaras dengan firman Allah ta’ala (yang artinya), “Kemudian apabila kalian berselisih tentang perkara apa saja maka kembalikanlah kepada Allah (al-Qur’an) dan rasul (as-Sunnah)…” (QS. an-Nisaa’: 59). Oleh sebab itu Imam Ibnu Abdil Barr berkata, “Ketahuilah wahai saudaraku, sesungguhnya as-Sunnah dan al-Qur’an keduanya merupakan sumber pendapat akal/rasio dan standar baginya.

Bukanlah rasio yang menjadi standar/timbangan yang menghakimi as-Sunnah. Akan tetapi as-Sunnah itulah yang menjadi standar yang menghakimi rasio.” (Jami’ Bayanil ‘Ilmi wa Fadhlihi, [2/173] sebagaimana tertera dalam Ma’alim Ushul Fiqh, hal. 73).

Allahul Musta'aan